Publishnews.id – Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta Indonesia (HPTKES Indonesia) menggugat Mendikbudristek Nadiem Makarim ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewajiban uji kompetensi tenaga kesehatan oleh pihak ketiga. Sebab, hal itu dinilai menggerus kewenangan kampus dan menjadikan kampus hanya tukang stempel kelulusan.
“Pemohon sebagai wadah berhimpun Perguruan Tinggi Kesehatan yang saat ini tergabung sekitar sebanyak 1.536 Perguruan Tinggi Kesehatan di seluruh Indonesia (tidak termasuk perguruan tinggi jurusan kedokteran, kedokteran gigi dan farmasi), dengan jumlah seluruh mahasiswa yang aktif sekitar 3 juta orang. Jumlah mahasiswa tersebut akan terus bertambah setiap tahunnya dengan jumlah rata-rata kenaikan 10%-20% setiap tahun dari tahun sebelumnya seiring dengan laju pertumbuhan demografi masyarakat, kebutuhan, pertumbuhan fasilitas kesehatan dan pertumbuhan/perkembangan fasilitas pada dunia pendidikan tinggi kesehatan,” kata pemohon memperkenalkan diri yang dituangkan dalam berkas judicial review sebagaimana dilansir website MK, Minggu (10/10/2021).
HPTKES Indonesia mengajukan judicial review atas pasal Pasal 21 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang berbunyi:
(1) Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional.
(2) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.
(3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja.
(4) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Organisasi Profesi dan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan ditetapkan oleh Menteri.
(5) Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
(6) Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Dengan diundangkannya UU Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, maka semakin menegaskan peran perguruan tinggi dalam pembangunan kesehatan di Indonesia dengan melahirkan tenaga ahli bidang kesehatan dan profesional bidang kesehatan. Termasuk di antaranya peran perguruan tinggi kesehatan adalah sebagai badan yang berperan dalam penyelengaraan ujian kompetensi bagi mahasiswa pendidikan vokasi dan profesi.
Namun, HPTKES Indonesia menilai pasal di atas ditafsirkan tidak tepat oleh Nadiem dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 2 tahun 2020 yang menghilangkan keterlibatan perguruan tinggi dan penerbitan sertifikat ujian kompetensi tidak dikeluarkan oleh perguruan tinggi. Sebab Nadiem membuat ‘Komite Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan’ yang menentukan uji kompetensi kelulusan.
“Penafsiran oleh Termohon (Mendikbud-red) tersebut juga telah menganulir peran perguruan tinggi kesehatan yang dalam menyelenggarakan ujian kompetensi, menganulir peran perguruan tinggi kesehatan menentukan kelulusan mahasiswa dan perguruan tinggi hanya sebagai lembaga ‘tukang stempel’ dalam hasil ujian kompentensi yang dilaksanakan oleh Termohon,” ujar HPTKES Indonesia.
HPTKES Indonesia menyatakan perguruan tinggi dilarang/tidak dapat menerbitkan ijazah sebagai tanda bukti kelulusan mahasiswa tanpa terlebih dahulu adanya bukti sertifikat kompetensi yang dilaksanakan secara tunggal, sepihak oleh Nadiem berdasarkan tafsir Nadiem. Dengan kata lain perguruan tinggi kesehatan tidak dapat menerbitkan ijazah mahasiswa dan termasuk mahasiswa profesi dan akademisi tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi meskipun mahasiswa tersebut telah menyelesaikan seluruh program studi.
“Namun jika belum memperoleh sertipikat uji kompetensi yang dilaksanakan berdasarkan penafsiran Termohon maka semua hal itu tidak akan dapat dilakukan,” kata HPTKES Indonesia.
Padahal berdasarkan perundang-undangan telah jelas dan terang memberikan peran menyelenggarakan ujian kompetensi dan menerbitkan ijazah tersebut kepada kampus. Penerbitan ijazah adalah kewajiban kampus atas bukti mahasiswa telah menyelesaikan seluruh studinya di kampus asal mereka.
“Pada prinsipnya dan sesuai regulasi yang ada ujian kompetensi bukan merupakan keharusan untuk mendapatkan gelar sarjana,” kata HPTKES Indonesia menegaskan.
Sesuai aturan dunia pendidikan tinggi, setiap mahasiswa berhak memperoleh gelar sarjana setelah menyelesaikan seluruh studi dan lulus ujian yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ada di dunia pendidikan. Adapun mengenai uji kompetensi seharusnya hanya khsusus diperuntukan sebagai syarat apabila para sarjana pendikan kesehatan tersebut akan melakoni profesi sebagai tenaga kesehatan.
“Namun sebaliknya apabila mahasiswa tersebut tidak memiliki minat untuk menjadi tenaga kesehatan (memilih karir alternatif di luar tenaga kesehatan), maka seharusnya hukum harus melindungi kepentingan mahasiswa tadi yaitu tidak dihalangi untuk memperoleh gelar sarjana dan mendapatkan ijazah setelah mampu menyelesaikan seluruh studi pada perguruan tinggi sesuai dengan kurikulum pendidikan tinggi yang berlaku, sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,” kata HPTKES Indonesia menandaskan.
Sebelum Nadiem mengeluarkan aturan di atas, seluruh perguruan tinggi kesehatan di Indonesia telah menyelenggarakan kegiatan dimaksud. Yaitu dengan cara masing-masing organisasi profesi bekerjasama dengan penguruan tinggi masing-masing melaksanakan uji kompetensi dan kelulusan para mahasiwa bidang kesehatan dalam bentuk Surat Tanda Registrasi (STR) dikeluarkan melalui organisasi profesi masing-masing.
“Seperti Bidan akan dikeluarkan oleh IBI STR- nya setelah diproses secara administrasi oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) Pusat yang mendapatkan data para mahasiswa yang lulus dari MTKI Daerah dan organisasi Profesi di daerah masing-masing,”terang HPTKES Indonesia.
Oleh sebab itu, HPTKES Indonesia memohon MK untuk memberikan putusan di antaranya:
1. Menyatakan HPTKES Indonesia telah dirugikan dengan Penafsiran ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang ditafsirkan oleh Termohon berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 2 tahun 2020;
2. Menyatakan Ketentuan Pasal 21 UU 36/2014 inkonstitusional sepanjang dimaknai berdasarkan Permendikbud Nomor 2 tahun 2020;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 21 UU 36/2014 inkonstitusional selama dimaknai tidak terdapat peran Perguruan Tinggi dalam menentukan kelulusan Mahasiswa dalam Uji Kompetensi;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 21 UU 36/2014 inkonstitusional selama dimaknai Ujian Kompetensi dilaksanakan hanya oleh Komite atau sebutan lain yang pada pokonya adalah lembaga non perguruan tinggi;
5. Menyatakan ketentuan Pasal 21 UU 36/2014 inkonstitusional selama dimaknai Ujian Kompetensi dilaksanakan dengan menghilangkan keterlibatan Perguruan tinggi dan Penerbitan Sertifikat Ujian Kompetensi tidak dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi.
Selain soal uji sertifikasi di atas, Nadiem juga sedang digugat ke MK terkait adanya kartel gelar profesor. Di mana dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati, menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke MK dan menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbudristek sehingga peraturan yang ‘menjegalnya’ harus dihapuskan. Gugatan ini masih berlangsung.
Sumber: Detik.com