Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH., M.H.
PUTUSAN Pengadilan seyogyanya mencantumkan perintah dalam hal terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Pencantuman demikian penting untuk menghindari keteledoran atau kesewenang-wenangan terhadap diri terdakwa yang belum mendapatkan putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiadaan pencantuman tersebut akan menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum atas hak-hak terdakwa.
Pada prinsipnya ketika Pengadilan menjatuhkan putusan, maka melekat kewenangan yang bersifat opsional sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 193 ayat (2) KUHAP. Opsi pertama, Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup untuk itu. Opsi kedua, dalam hal terdakwa ditahan, Pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan yang cukup untuk itu. Perbedaan kedua opsi tersebut dapat dilihat dari perbedaan ditahan dan tidak ditahannya seorang terdakwa.
Dalam hal terdakwa sebelumnya tidak ditahan, kemudian putusan Pengadilan Negeri memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, maka Hakim Pengadilan Tinggi dapat melakukan penahanan. Penahanan tersebut adalah kali pertama terdakwa ditahan. Penahanan oleh Hakim Pengadilan Tinggi bukan dimaksudkan sebagai perpanjangan penahanan.
Penahanan oleh Hakim Pengadilan Tinggi harus dimaknai atas dasar adanya perintah penahanan dari Pengadilan Negeri. Sepanjang tidak ada perintah penahanan dari Pengadilan Negeri, maka terdakwa harus dibebaskan dari tahanan. Berbeda halnya jika sebelumnya terdakwa ditahan dan kemudian Pengadilan Negeri memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan, maka penahanan yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Tinggi merupakan kelanjutan atas penahanan sebelumnya.
Persoalan ketiadaan perintah penahanan dalam putusan Pengadilan Negeri telah menimbulkan polemik. Terlebih lagi baru-baru ini publik diramaikan dengan pemberitaan adanya perintah penahanan terhadap Habib Rizieq Shihab oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang sebelumnya tidak dilakukan penahanan dan tidak pula ada perintah penahanan dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Disini dipersoalkan keabsahan Surat Penetapan Perintah Penahanan Nomor: 1831/Pen.Pid/2021/PT DKI. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) KUHAP yang berhak melakukan penahanan adalah Hakim Pengadilan Tinggi guna kepentingan pemeriksaan banding. Namun, diketahui pada saat Surat Penetapan Perintah Penahanan yang diterbitkan tanggal 5 Agustus 2021, ternyata Majelis Hakim banding belum terbentuk.
Dengan demikian Surat Penetapan Perintah Penahanan yang ditandatangani oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dinilai oleh sejumlah kalangan telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak-hak Habib Rizieq Syihab.
Menurut penulis, pokok masalahnya menunjuk pada uraian pertimbangan Surat Penetapan Perintah Penahanan yang mengandung pertentangan dan cenderung mengarah kekeliruan. Selengkapnya pertimbangan tersebut menyatakan sebagai berikut: “Menimbang, bahwa oleh karena masa penahanan Terdakwa Moh. Rizieq bin Sayyid Husein Shihab alias Habib Muhammad Rizieq Shihab dalam perkara Nomor: 221/Pid.Sus/2021/PN. Jkt.Tim [AC1] [AC2] Jo Nomor: 171/Pid.Sus/2021/PT DKI akan berakhir pada tanggal 25 Agustus 2021, sedangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas perkara tersebut menguatkan dengan hukuman 8 (delapan) bulan dan masa penahanan berdasarkan putusan tersebut berakhir pada tanggal 8 Agustus 2021, maka untuk itu dipandang perlu untuk melakukan penahanan terhadap Terdakwa Moh. Rizieq bin Sayyid Husein Shihab alias Habib Muhammad Rizieq Shihab dalam perkara Nomor: 225/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Tim.”
Perkara Nomor: 225/Pid.Sus/2021/PN. Jkt.Tim Jo Nomor: 171/Pid.Sus/2021/PT. DKI adalah perkara RS UMMI. Perkara tersebut diputus berbeda dengan perkara Nomor: 221/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Tim (perkara Prokes Petamburan).
Terhadap pertimbangan tersebut dapat ditafsirkan bahwa status penahanan pada perkara Prokes Petamburan dijadikan sebagai dasar perpanjangan penahanan dalam perkara RS UMMI. Hal ini dapat dilihat dari masa penahanan yang berakhir pada tanggal 8 Agustus 2021 kemudian disambung dengan perintah penahanan terhitung sejak tanggal 9 Agustus 2021 untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dengan demikian, dapat dikatakan penetapan perintah penahanan tersebut didasarkan pada penahanan perkara Prokes Petamburan.
Sebagaimana diketahui dalam perkara RS UMMI, Habib Rizieq Syihab dari semenjak awal tahap penyidikan sampai dengan pemeriksaan di sidang Pengadilan tidak pernah dilakukan penahanan. Pengadilan dalam perkara a quo juga tidak memerintahkan untuk dilakukan penahanan. Oleh karena itu, jika dimaksudkan Surat Penetapan Perintah Penahanan untuk kepentingan perpanjangan penahanan, maka itu adalah bentuk penyimpangan.
Dikatakan demikian oleh karena tidak dapat dibenarkan perpanjangan penahanan menggunakan perkara yang lain (in casu perkara Prokes Petamburan). Seandainya, jika Surat Penetapan Perintah Penahanan dimaksudkan sebagai penahanan yang berdiri sendiri, dengan kata lain bukan sebagai lanjutan (perpanjangan) penahanan tidak pula dapat dibenarkan.
Kenapa demikian? Karena tidak ada perintah penahanan dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kembali ditegaskan bahwa penahanan yang demikian itu harus pula didasarkan pada perintah penahanan dari Pengadilan Negeri. Pada perkara penahanan Habib Rizieq Syihab atas ketiadaan perintah penahanan dari Pengadilan Negeri, maka berimplikasi pembebasan dari tahanan.
Sebagai penutup dapat diambil konklusi bahwa Surat Penetapan Perintah Penahanan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak dapat diterima sebagai suatu kenyataan hukum yang pasti. Surat Penetapan dimaksud dipandang bermasalah, dan tidak memenuhi landasan yuridis. Oleh karenanya tidak dapat ditindaklanjuti. Pada akhirnya Habib Rizieq Syihab harus dikeluarkan dari tahanan. Demikian.* Dir. HRS Center & Ahli Hukum Pidana
Hidayatullah.com